Puisi-Puisi Roy Manu Leveran

Pukul


Potret Pulau Antara

aku tak mampu melukis wajahmu
pada kanvas tanah yang memerah akibat genang darah

pula tak sanggup mengukir namamu
di atas bentang air keruh sebab putih yang terbunuh
jemari tanganku melemah tanpa letupan empat lima
karena lelah sudah kugunakan mengusap dada,
menyumbat suara, mengunci telinga dan menutup mata!


Potret Urban 1

kota menjanjikan ada
namun ada tak berikan segala
langit bumi jadi pemberat neraca
hingga primitif merupa sensitif

Potret Urban 2

masa silam kembali bersalam
menyusup lembut di tengah hingar bingar kota
tangga kasta menjelma jadi peran utama
sewajarnya yang lemah bersimpuh patuh
layaknya rumah kolong jembatan menyembah gedunggedung tinggi

Potret Urban 3
: percakapan semut dengan manusia

M: aku hanya diam, kok kesemutan sih? (gerutu manusia pada keadaan)
S: aku berlari sana sini tak pernah keorangan! (hahaha)
M: gerangan apa buatnya begitu? (terheran dengan wajah berubah bodoh)
S: sebelum hujan, kami berbondong mengumpul sisasisa guna persediaan
sementara kalian terus saja menghiasi rumah kalian dengan sampah!
M: lalu? (dengan polos menggaruk kepala)
S: saat hujan tiba kami tertawa bahagia, sementara kalian mengeluhkan datangnya banjir!
M: ... hanya diam tak berkata apaapa! ...

Potret Urban 4

beberapa kumpulan makhluk turunan kedua dalam jenis berbeda
tersesat di antara serakan potret urban belantara
tapi tak bersuara, tak bernyawa

mereka menyisakan tanda dalam skala warna beraneka
goresan luka terendam keringnya kulit dan hasil rambut olahan
yang dipajang tuan dan nyonya sebagai lambang kehebatan

transaksi terus berjalan
perburuan semakin mengedan

apa pasokan kulit kemarin belum cukup mengeyangkan perut?
atau masih kurang sekawanan domba tereksekusi demi eksploitasi?

kebutuhan sandang, katamu: trend, gaya baru!
setelah dikenakan mengapa tak jua menutup aurat? (tanyaku polos)

Surat di Meja Demokrasi
dengan segala hormat,

tuantuan berlencana
berkencana mewah dari bavarian
yang selalu menimang ribuan rencana

saya tardjo,
pedagang soto di balik tembok pemisah
di belakang, berdiri rumahrumah mewah
di depan gerobak soto yang hampir terbelah
berdiri juga banyak rumah
ukurannya bervariasi kalau tak salah
kirakira tipe 21 kurangnya lebih dari setengah.

maksud kedatangan surat ini
bukan untuk menghakimi
apalagi memprovokasi!
saya hanya mewakili,
segenap aspirasi
yang berkasnya tak sampai di meja demokrasi

atas perhatiannya, saya ucap terima kasih.

Gemuruh Desah Bibir Pantai

pucuk rembulan di puncak malam
jadi saksi bisu gelisah ombak,
di tengah luap dan teriak alpa
rimbun pening pikat
tak terhembus angin rindu ujung pantai
semakin pengap isi otak bercecer sembarang
bersama pasir putih yang terenyuh

gigi pantai dirajam tawa
gelombang air terpasung dosa

pertarungan lidah bersimbah lelah
terengahengah desah penuh gairah
kecup gunung berbongkah mengusap lembut ke bawah
: menarinari, meliukliuk di sisi lembah

di pinggir pantai, basah
baris riak merantai, jengah
saksikan sunah berubah zinah


Sumber: Kompas.com, 29 Agustus 2009

14komentar:

Posting Komentar