Puisi-Puisi Luca Satria

Pukul


Menunggu

Menunggu,
Di persimpangan hati memendam kata
Melaju takhenti, atau aku terkejar
Berharap tak banyak kata
Hanya sepatah penyempit rindu
Untuk kau malaikat yang rupawan
Walau nyata memang tak berparas

Aku menangis di persimpangan hati
Berlari untuk memeluk, dari lesatan busur hujan
Kau tak perlu tahu pedih dari sang pecinta, perindu
Aku tak ingin kau tahu bahagianya mencintai dari pada dicintai

Aku menunggu sampai sepi
Menangisi bukan dengan air mata
Walau beribu penat bertanya tanpa bisa terjawab
Kemana langkahan malaikat kecilku
Yang mencari sayap tuk kembali terbang
memang aku tak mempunyai buluh tuk kurajut jadikan sayap
Sabarlah, karena ku yakin kau tak sesabar aku
Ketika setiba nanti ada sepatah kata harus kau jawab

Cerita Setu Gintung

Fajar itu,
Di danau setu gintung yang tenang
Ada cerita tentang gundukan batu cadas tua
Merintih tak kuat bercekcok dengan tetangganya
Sudah berpuluhan tahun lamanya menghuni
Di balik lelapnya desa
Kala itu hujan hari demi hari menjadi-jadi
Gundukan batu tak kuat menahan amarah sang karib
Tentang ketidaknyamanan yang selau dikomersilkan
Membugilkan tubuh di balik renta mata sang takdir

Akhirnya tanggul itu jebol
Beratus ratus meter kubik air
menghujani luluhlantahkan isi desa
Berjuta nyawa berteriak tercabut paksa
Kaki-kaki besar berlarian mencari kaki-kaki kecil
Dari dahsyatnya telapak maut
Sekejap hening tanpa suara
Rata tak tertata, setu gintung pun menjadi cerita
Di dalam media masa

Ratusan orang menduyun menghampiri buah tragedi
Mata-mata sepasang mata mendelik
Berpuluh raga terbaring tak berdaya diceraikan nyawa
Tangis sanak meledak sampai singgasana angkasa
ratusan manusia berduyun sibuk
Membantu mempublikasikan ke mata dunia

: Bukan itu kubutuhkan…
teriak sang nyawa
apa ini cara barumu menjadikanku aktris
beriaskan lumpur tergincu amis darah…
aku tak butuh itu saudaraku
tolong carikan aku di balik puing yang membisu
Dikedalaman lumpur menggagu
Di anak-anak sungai sedang mencari ibu
Lalu temukan aku kepada yang mencari

Tolong,
hanya itu permintaanku
sederhana selayaknya kelak nanti kau mati

Banyu

banyu biru berpasir menyapaku
kristal berkilau sepanjang bibir purnama
tapi ku diami dengan angkuhku
entah kenapa ku biarkan hatiku seperti ini

maaf, sesadar apa pun kau tetap ada dalam banyu itu
walau kenyataan kau akan menghabiskan lahab dataranku
dataranmu,
tapi ku yakin kau tak sepeduli aku
perpisahan ternyata menjadi harga mahal tuk sebuah kenangan
walau ku tersadar airmatamu dahulu pernah membanjiri entah untuk siapa

kenyataan banyu biru berpasang angin melahiri sebuah ombak
membentuki dataran berpasir, dimana dulu kakiku enggan tuk menapak
di pantai itupun bayangmu masih berdiri, bersama jiwa tak bertuan
kasih yang hilang kini ku temui , membayang tak berwujud tapi ku tetap memeluk
untuk air mata yang dulu tak sempat tuk ku tangisi

Sumber: Kompas.com, 27 Juni 2009

7komentar:

Posting Komentar