Kiat Menembus Rubrik Sastra

Pukul


Oleh Ahmadun Yosi Herfanda

Sudah diakui bahwa rubrik sastra di surat kabar dewasa ini merupakan media yang paling strategis untuk pemasyarakat sastra. Tidak hanya pemasyarakatan karya, tapi juga sosialisasi ide dan event kesastraan. Karena itu, pemuatan karya di rubrik sastra surat kabar menjadi idaman hampir semua pengarang.

Namun, bagi para penulis muda, terutama pemula, menembus "gawang" rubrik sastra surat kabat tidaklah mudah. Ada yang sudah puluhan kali mengirim karya ke surat kabar, tapi tidak kunjung dimuat, lantas putus asa. Ada juga yang baru beberapa kali mengirim, lalu dimuat, dan makin bersemangat. Ada juga yang tidak kenal putus asa, seratus kali lebih mengirim karya, dan akhirnya tembus (dimuat) juga.

Ada beberapa faktor penyebab suatu karya sastra, khususnya cerpen, ditolak oleh redaktur rubrik sastra suatu surat kabar: Pertama, kualitasnya buruk atau di bawah standar estetik dan kualitatif yang dipatok oleh redaktur rubrik sastra bersangkutan.

Tiap rubrik sastra surat kabar tentu memiliki standar estetik yang berbeda-beda. Republika, misalnya, lebih longgar dan moderat, karena juga mengemban misi kaderisasi, dan tidak menerapkan selera estetik secara kaku. Rubrik sastra yang diambisikan sebagai kiblat pencapaian prestasi estetik tentu akan menerapkan standar estetik yang lebih sempit dan kaku.

Kedua, karya sastra tersebut tidak memenuhi persyaratan teknis yang dikehendaki oleh rubrik sastra tersebut. Misalnya, terlalu panjang atau sebaliknya terlalu pendek (cerpen, puisi, esei), dan tipografinya sulit untuk dipenuhi (puisi). Rubrik sastra Republika, misalnya, hanya bisa menampung cerpen/esei sepanjang maksimal 10 ribu karakter, dan puisi dengan tipografi konvensional sepanjang 2-4 bait per judul, dengan 2-6 baris per bait.

Ketiga, secara ideologis karya sastra tersebut tidak sesuai dengan anutan estetik-tematik-idelologis yang digariskan oleh konsep redaksional, visi dan misi surat kabar yang bersangkutan. Republika yang berideologi Islam kosmopolitan, misalnya, tidak mungkin memuat ataupun mempromosikan karya-karya yang secara estetik dan tematik berlawanan dengan ajaran Islam. Namun, perlu dipahami, bahwa Islam
di sini tidak dalam pengertian yang formalistik, tapi substansial.


Visi dan Ideologi Media

Tiap media massa pada dasarnya lahir dari suatu keyakinan ideologis tertentu, atau dari sekelompok orang yang meyakini ideologi tertentu. Memang bisa jadi sekelompok orang itu berasal dari latar belakang keyakinan agama dan ideologi yang berbeda. Tapi, setelah menyatu dalam sebuah tim perumus konsep media mereka biasanya
lebih dulu menyatukan pandangan untuk menemukan anutan bersama yang menjadi ikatan moral mereka.

Dari anutan bersama itulah kemudian lahir yang disebut visi media massa yang menjadi cita-cita bersama para pemilik dan pengelola media tersebut. Dari visi, yang kemudian dioperasionalkan menjadi misi, inilah sebuah konsep redaksional suatu meda massa dirumuskan dengan berbagai rambu-rambunya.

Pada ranah inilah justru terjadi perbedaan sikap antar media dalam mendekati berbagai persoalan yang menjadi bidang perhatiannya, termasuk sikap terhadap sastra. Surat kabar yang lahir dari ideologi liberal, misalnya, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, akan memberi perhatian lebih pada program-program liberalisasi, termasuk liberalisasi nilai-nilai sastra. Kompas dan Koran Tempo tampak lebih dekat dengan ideologi ini. Media Indonesia pada banyak hal juga lebih dekat dengan ideologi itu. Namun, karena kesadaran publik tertentu, toh Kompas masih tetap tampak sangat berhati-hati dalam meloloskan cerpen. Sementara Koran Tempo dan Media Indonesia justru terkesan lebih longgar.

Yang terkesan sendirian di antara koran-koran besar nasional, tampaknya adalah Republika. Secara historis, koran ini lahir dari ICMI, dan karena itu membawa ideologi ICMI. Memang sempat terjadi repositioning terhadap koran ini dengan menggesernya dari koran partisan menjadi koran umum. Tetapi, tampaknya tarikan visi primordial koran ini jauh lebih kuat sehingga visi keislamannya belakangan kembali mengental, sehingga tetap menjadi koran yang memang diskenario untuk membela kepentingan umat dengan misi amal makruf nahi munkar secara elegan.

Begitulah dalam menyikapi masalah-masalah kebudayaan, termasuk sastra. Sesuai dengan visinya untuk ikut membangun masyarakat madani yang berkeadilan, demokratis, cerdas, religius, dan sejahtera; maka dalam bidang kebudayaan Republika memiliki misi untuk ikut menumbuh-kembangkan berbagai bentuk kebudayaan yang dapat meningkatkan martabat dan kepekaan hati nurani. Selain itu juga bersikap kritis-apresiatif terhadap berbagai bentuk ekspresi budaya baru yang berkembang di masyarakat.

Karena sikap kritis-apresiatif itu, Republika tidak terlalu keras terhadap goyang Inul maupun fiksi-fiksi 'erotisme-libidal' Djenar, Ayu Utami maupun Dinar Rahayu. Di satu sisi kita perlu memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kebangkitan penulis perempuan itu, dan di sisi lain dituntut kritis terhadap nilai-nilai yang mereka ditawarkan. Memang terkesan kurang tegas, tapi itulah elegansi yang ingin ditunjukkan koran ini dengan moto akrab dan cerdas-nya: mengeritik untuk penyadaran, bukan mematikan.


Beberapa Kiat Praktis

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa kiat yang perlu dicoba oleh para penulis muda, terutama pemula, untuk menembus rubrik sastra surat kabar adalah sbb:

Pertama, mengetahui karakter teknis rubrik sastra bersangkutan. Yang terpenting dalam hal ini adalah panjang naskah yang dapat dimuat oleh rubrik sastra tersebut, yang tiap surat kabar berbeda-beda. Rubrik sastra Republika, misalnya, antara 8-10 ribu karakter (cerpen/esei), sedangkan Suara Pembaruan dan Kompas bisa 10-13.000 karakter. Dengan begitu, jangan sekali-kali kirim cerpen yang panjangnya lebih dari 10 ribu karakter ke Republika, pasti tidak akan dimuat, selain ada pertimbangan khusus bahwa cerpen tersebut sangat istimewa. Untuk mengetahui karakter ini bisa memanfaatkan internet. Copy saja cerpen yang dimuat, buka dengan format MsWords, dan hitung karakternya dengan mengklik tools dan word count.

Kedua, menengarai 'anutan estetik'-nya. Koran Tempo, misalnya, lebih menyukai cerpen-cerpen yang cenderung puitis, dengan pola penuturan atau bahasa pengucapan yang estetis. Media Indonesia lebih menyukai cerpen-cerpen eksperimental. Suara Pembaruan menyukai cerpen-cerpen konvensional. Kompas menyukai keduanya. Begitu juga Republika, dan Jawa Pos, membuka diri terhadap cerpen konvensional maupun eksperimental.

Ketiga, menengarai kecenderungan tematik-nya. Kompas cenderung menyukai tema-tema sosial dengan semangat 'pembebasan'. Suara Pembaruan cenderung menyukai tema-tema yang mengangkat potret orang kecil dan kepincangan sosial. Media Indonesia menyukai tema-tema yang kosmopolit dan sekuler. Republika membuka diri terhadap tema apa saja, asal dengan pendekatan Islami dan digarap dengan semangat pencerahan. Tengarai ini berkait erat dengan ideologi, visi dan misi media massa bersangkutan.

Keempat, menyerbu satu surat kabar sampai tembus. Ini terutama bagi pemula. Setelah menengarai karakter rubrik sastra media bersangkutan, dan cocok dengan karakter karya sang pemula, kirimkan karya secara bertubi-tubi ke koran tersebut -- sebagai target utama -- sampai dimuat. Dengan mengirim karya secara bertubi-tubi, sang pemula akan mengundang perhatian khusus redakturnya, dan di sisi lain, kualitas karya sanga pemula akan terus membaik karena mengalami proses intensifikasi. Perbaiki karya-karya yang ditolak, dan kirim ke koran lain. Jika sudah berhasil menembus rubrik cerpen di satu koran penting, pintu masuk ke rubrik sastra koran lain biasanya akan terbuka.

Kelima, jangan terlalu banyak bertanya atau memaksa redaktur lewat telepon agar karya Anda dimuat. Kalau karya Anda sudah bagus, mungkin pendekatan ini bisa dilakukan. Tapi, jika masih jelek, hanya akan menimbulkan kesan negatif pada Anda.

Keenam, jangan gampang menyerah, tapi sadari betul seberapa besar potensi dan bakat Anda dalam tulis-menulis cerpen. Banyak pengarang yang baru dapat menembus koran setelah puluhan kali mengirimkan karyanya. Abdul Hadi WM, misalnya, baru kiriman yang ke-116 dimuat di surat kabar. Tapi, kalau sudah 100 kali lebih mengirim karya dan tidak dimuat juga, sementara dari segi kualitas, karya Anda tidak meningkat juga, lebih baik berpikirlah untuk ganti profesi.

Ketujuh, menjaga kualitas karya dan berusaha keras untuk meningkatkannya. Setelah berhasil menembus media massa, jangan lantas kualitas karya tidak diperhatikan, sehingga merosot. Kemerosotan kualitas karya bisa menutup kembali pintu rubrik sastra media massa yang sudah terbuka itu.

Menjadi penulis ternama memang membutuhkan kerja keras. Tapi, jika kita sukses, Insya Allah, buahnya sangat lezat, meskipun tetap sulit membuat kita jadi kaya!


Jakarta, 25 Desember 2005

Dikutip dari berbagai sumber.

7komentar:

Posting Komentar